Hamengkubuwono IX, sama sekali tidak merasa sangsi terhadap masa depan kerajaannya saat proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sehari setelah kemerdekaan ia mengirim kawat ucapan selamat kepada Soekarno – Hatta, dan dr. Rajiman Wediodiningrat, sebagai ketua BPUPKI.
Ia tak begitu mengenal Soekarno – Hatta, namun ia percaya dengan hari depan Republik baru ini. 20 Agustus 1945, Sultan mengirimkan kawat lagi dan mengatakan “sanggup berdiri di belakang pimpinan mereka“. 5 September 1945, Sultan mengeluarkan amanat yang intinya: “Nyayogkarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan bagian dari Republik Indonesia dan memiliki hubungannya bersifat langsung dengan Pemerintah pusat serta bertanggung jawab terhadap Presiden RI”.
4 Januari 1946, di Stasiun Tugu Sultan sendiri menyambut pimpinan Republik yang mengungsi dan memindahkan ibu kota Pemerintahannya di Jogjakarta. Sejak itu Jogja menjadi kota revolusioner dengan gegap gempita perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dukungan ini tidak setengah setengah. Ada beberapa bulan Sultan harus mengambil peti-peti kerajaan yang berisi uang perak dan gulden untuk membayar gaji pegawai Pemerintahan Pusat. Juga menyediakan gedung-gedung untuk administrasi pemerintahan negara muda ini. Bung Hatta pernah mengatakan jumlah uang yang dikeluarkan Sultan mencapai 5 juta gulden, dan ia pernah menanyakan kepada Sultan, apakah perlu diganti. Sultan tak pernah menjawabnya sampai akhir hayatnya.
Apa jadinya Republik ini tanpa dukungan Kesultanan Jogja ? Tawaran Belanda untuk menjadikan Wali Super atau Raja atas wilayah seluruh Pulau Jawa dan Madura ditolaknya. Sama sekali tak ada keraguan untuk menyambut proklamasi dan menyatakan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia. Raja Jogyakarta ini telah menempatkan sebagai ahli waris dari kerajaan terhormat yang sejak dahulu selalu mengadakan perlawanan terhadap penjajah. Atas semua peran tersebut, semua setuju dan tidak ragu kedudukan Jogjakarta menjadi Daerah Istimewa, sebuah status yang juga sudah diputuskan sejak Presiden Pertama RI, meresponi Amanat Sultan tertanggal 5 Sept 1945.
Kedudukan Jogyakarta sebagai daerah Istimewa ini, tidak lepas dari sikap-sikap rakyat Jogya dan teristimewa sikap dan karakter Hamengkubuwono IX. Dari isi surat kawat tertanggal 20 Agustus 1945, hanya 3 hari setelah proklamasi, beliau sebagai raja turun temurun, memberikan diri untuk dibawah Presiden sebuah Republik yang baru dan bukan menantang untuk bersaing dalam pemilu.
INSPIRASI: Ia seorang pemimpin, seorang raja, tetapi ia seorang yang mau ‘menundukkan diri’ dibawah otoritas orang lain. Ia seorang yang bisa memimpin dan juga bisa dipimpin, itu satu kombinasi karakter yang luar biasa.
Banyak orang hanya mau memimpin, tetapi ia tidak mau dipimpin, Ia punya roh pemberontakan. Ayahnya dilawan, atasannya dikritik, pemimpin rohaninya dirong-rong, dimanapun ia berada, selisih paham dengan atasan. Mungkin saja ia orang pandai, tetapi tidak punya ‘penundukkan diri’. Untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, dia haruslah juga seorang yang bisa dipimpin, dibawah otoritas dan ‘covering’, ‘mentoring’ ataupun ‘inspiring’ dari orang lain yang lebih senior.
Inspirasi dari Nyayogkarta Hadiningrat, mari kita menjadi manusia yang lebih dewasa dan bijaksana ... bisa memimpin dan mau dipimpin. Salam Dahsyat ... Luar Biasa !!!
SOEWARDI SOERJANINGRAT
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Soewardi wartawan muda di beberapa surat kabar antara lain Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial dan aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda dan menggugah kesadaran masyarakat mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Tulisan KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, tahun 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan bersama kedua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, diasingkan ke Belanda Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
1919 pulang dari Belanda dan 1922 Ia pendiri Perguruan Taman Siswa, lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun Belanda. 1922 saat ia genap berusia 40 tahun, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantoro. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia yang pertama. 1957 doctor honoris causa, dari Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya, 2 Mei, dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung") menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantor. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah.
INSPIRASI: Kalau Ki Hadjar Dewantoro, tidak melepaskan gelar kebangsawanannya, mungkin ia tidak akan bisa berbaur dengan leluasa dengan rakyat, mungkin bisa ia ‘di depan memberi teladan’ tetapi tidak bisa ‘ing madya mangun karsa’, tidak bisa membangun semangat dengan berada bersama-sama di tengah anak buah atau rakyat. Banyak orang mau di depan, bahkan berebut jabatan, bahkan gelar dan gelar bangsawan palsu. Orang bisa jadi provokator di belakang, lalu ‘lempar batu sembunyi tangan’ lepas tangan jika ada apa-apa. Butuh kerendahan hati, welas asih atau belas kasihan dalam arti empati dan simpati, untuk mau dan bisa berbaur. Itulah semboyan yang dihidupi, artinya karakter dari Ki Hajar Dewantoro.
Inspirasi dari Nyayogkarta Hadiningrat, mari kita raih hidup yang mulia, dihormati orang, dicintai anak buah, karena sikap: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. "di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung". Salam Dahsyat... Luar Biasa !!!