Rabu, 14 Maret 2012

Semarang; Raden Saleh, NH Dini, Dr. Kariadi


 Semarang 01: dr. Kariadi: Pengabdian.

Abad ke-15 M dari Kerajaan Demak, dikirim  Pangeran Made Pandan (Sunan Pandanaran I), untuk menyebarkan agama Islam di perbukitan Pragota. Beliau menjumpai banyak pohon Asem Arang, sehingga memberikan gelar daerah itu menjadi Semarang. Sebagai pendiri desa, kemudian menjadi kepala daerah setempat, dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang I.
Putranya yang bergelar Pandan Arang II atau  Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran II. Membawa kemajuan Semarang dan 2 Mei 1547 bertepatan dengan maulid Nabi, disahkan oleh Sultan Hadiwijaya sbg Kabupaten. Tanggal 2 Mei kemudian ditetapkan sebagai hari jadi kota Semarang.
Kalau di Surabaya ada TUGU PAHLAWAN mengenang Peristiwa 10 November - perlawanan terhebat rakyat Indonesia dalam melawan sekutu dan Belanda, maka di Semarang ada TUGU MUDA, Untuk memperingati Pertempuran 5 Hari atau Pertempuran 5 Hari di Semarang adalah perlawanan terhebat rakyat Indonesia terhadap Jepang pada masa transisi, yang terjadi 15 Okt 1945.  Tugu Muda ini dibangun pada tanggal 10 November 1950.
Hal pertama yang menyulut kemarahan para pemuda Indonesia adalah ketika pemuda Indonesia memindahkan tawanan Jepang dari Cepiring ke Bulu, dan di tengah jalan mereka kabur dan bergabung dengan pasukan Kidobutai, dibawah pimpinan Jendral Nakamura, di Jatingaleh.
Hal Kedua, matinya Dr.Kariadi. 14 Oktober 1945, pasukan Jepang melucuti anggota polisi penjaga sumber air minum satu-satunya bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Tersiar kabar tentara Jepang meracuni reservoir itu.
Rakyat pun menjadi gelisah. Sebagai kepala RS Purusara, Dokter Kariadi berniat memastikan kabar tersebut dan memutuskan harus segera pergi ke sana. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya, mengingat keadaan yang sangat genting. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang.
Ternyata dalam perjalanan, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat dan ditembak tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan. Sebagai penghormatan atas keberanian dan kepeduliannya pada warga Semarang, Nama dr. Kariadi diabadikan sebagai nama  rumah sakit yang dulu ia pernah kepalai, Rs Purusara, dan ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Kalau di Surabaya ada Bung Tomo, maka di Semarang ada dr. Kariadi.
Inspirasinya : Kisah pengabdian, tidak pernah berhenti bersama matinya si-pelaku, sebaliknya justru kisah dan nilai-nilainya terus hidup dan diwariskan. Orang kaya tanpa kebaikan, mati dan dilupakan, orang kaya ataupun miskin yang berbuat baik, mati dan namanya tetap dikenal, perbuatan baiknya sebagai teladannya dikisahkan turun temurun.
Ada kisah di Alkitab; orang kaya mati masuk neraka, namanya tidak ditulis siapa. Tetapi ada orang miskin mati masuk surga, namanya ditulis Lazarus dan ia dipangku oleh orang kaya yang masuk sorga, dan namanya ditulis, Abraham, orang kaya yang rajin berbuat baik. Pengabdian, kebaikan, itu kekal. Pengabdian, itulah harta abadi, diakui sorga dan dunia, dihargai Tuhan dan manusia. Karena manusia diciptakan untuk mewakili dan memancarkan kemuliaan Tuhan, dengan berbuat kebajikan. Mari dapatkan kemuliaan hidup sebagai manusia, dengan semangat pengabdian. Salam Dahsyat, Luar Biasa !!
Semarang 02 : Raden Saleh
Anak Mas Adjeng Zarip Hoesen asal Terboyo Semarang, berhasil menjadi pelukis dunia, pelukis Kerajaan belanda, dialah Raden Saleh. Indonesia boleh berbangga melihat karya anak bangsa menerobos museum akbar seperti Rijkmuseum, Amsterdam, dan museum bergengsi Louvre, Paris. Ia banyak mendapat penghargaan dari Kerajaan Belanda, keraton Solo dan Pemerintah indonesia.
Salah satu lukisannya yang berukuran besar, Berburu Rusa, terjual di Balai Lelang Christie's Singapura seharga Rp 5,5 miliar. Ia menjadi kaya raya, saat kembali ke Indonesia dari Eropa, di Batavia ia tinggal di sekitar Cikini. Gedungnya dibangun sendiri gaya seorang pelukis. Sebagai tanda cinta terhadap bangsanya, ia menyerahkan sebagian dari halamannya yang sangat luas pada pengurus kebun binatang. Kini kebun binatang itu menjadi Taman Ismail Marzuki. Sementara rumahnya menjadi Rumah Sakit Cikini, Jakarta. Wow besar sekali bukan ?
Ada sekelumit kisah, yang saya angkat sebagai sumber INSPIRASI: Ia belajar melukis potret dari Cornelis Kruseman dan tema pemandangan dari Andries Schelfhout, serta tokoh romantisme Ferdinand Victor Eugene Delacroix, pelukis Perancis legendaris.
Semasa belajar di Belanda, ia sering dihina oleh pelukis-pelukis Belanda, karena ia seorang Hindia sebutan Indonesia saat itu. Para pelukis muda Belanda itu mulai melukis bunga. Lukisan bunga yang sangat mirip aslinya itu pun diperlihatkan ke Raden Saleh. Terbukti, beberapa kumbang serta kupu-kupu terkecoh untuk hinggap di atasnya. Seketika keluar berbagai kalimat ejekan dan cemooh. Merasa panas dan terhina, diam-diam Raden saleh menyingkir.
Ketakmunculannya selama berhari-hari membuat teman-temannya cemas. Muncul praduga, pelukis Indonesia itu berbuat nekad karena putus asa. Segera mereka ke rumahnya dan pintu rumahnya terkunci dari dalam. Pintu pun dibuka paksa dengan didobrak. Tiba-tiba mereka saling jerit. "Mayat Raden Saleh" terkapar di lantai berlumuran darah. Dalam suasana panik Raden Saleh muncul dari balik pintu lain. "Lukisan kalian hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu, tetapi gambar saya bisa menipu manusia", ujarnya tersenyum. Para pelukis muda Belanda itu pun kemudian pergi. Itulah salah satu pengalaman menarik Raden Saleh sebagai cermin kemampuannya.
Inspirasinya adalah: Ejekan dan cemooh, balaslah dengan karya, gunakan sebagai motivasi untuk berjuang dengan keras, membuat karya terbaik. Janganlah cemooh dan ejekan membuat anda berlarut dalam kesedihan, penolakan, sakit hati dan dendam. Memang akan selalu ada salah satu sisi hidup kita yang bisa dijadikan ledekan. Entah bentuk fisik, asal kota atau suku kita, pendidikan, kegagalan yang pernah kita buat atau kemiskinan keluarga kita.  Hal-hal ini sering menjadi batasan dalam pikiran kita, dan tidak berani melangkah, bahkan punya cita-cita saja tidak berani.
Mereka yang sukses, telah menembus batas-batas pikiran tersebut, belajar dan berkarya, tanpa menghiraukan cemoohan karena ras, suku, warna kulit, bentuk fisik, sebaliknya dengan semangat membara untuk membuktikan kemampuan, semangat membara karena dicemooh, telah membawa Raden Saleh dan juga banyak orang lain meraih sukses, termasuk saya dan saya yakin juga dengan Anda ! Karena itu apapun komentar lingkungan anda, terus SEMANGAT mengejar mimpi anda. Salam Dahsyat, Luar Biasa !!
Semarang 03 : NH Dini: Rajin & Gigih sejak Remaja
Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin (lahir di Semarang, 29 Februari 1936;  atau lebih dikenal dengan nama NH Dini adalah sastrawan, novelis, dan feminis Indonesia.
Pendiri Pondok Baca NH Dini di Sekayu, Semarang ini, telah menulis lebih dari 20 buku, belum termasuk kumpulan cerpen atau cerita kenangan. Kebanyakan novel-novelnya itu bercerita tentang wanita, karena itu Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini  digelari pengarang sastra feminis, penjuang hak-hak wanita lewat tulisannya. Karyanya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.
Beberapa karya NH Dini, yang terkenal; Dua Dunia (1956).  Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998). Dalam karyanya yang terbaru berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya.
NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan perasaannya sendiri.  Dini ditinggal wafat ayahnya saat masih SMP, sedangkan ibunya, pembuat batik tanpa penghasilan tetap. Karena itu, ia jadi suka melamun. Bakatnya menulis  terasah sejak di SMP, ia mengisi Majalah Dinding dengan puisi dan cerita pendek, dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika masih SMP.
Sebagai siswa SMA jurusan sastra di Semarang. Ia mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah dan bergabung dalam kelompok sandiwara radio dan sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Ia menjadi redaksi majalah remaja Gelora Muda.
Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, 1960. Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang 1960, pindah ke Pnom Penh, Kamboja, 1963 ke Prancis 1966, ke Manila, 1967 dan 1976, ia pindah ke Detroit, AS. Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.
Perceraian tidak membuatnya kendur, sebaliknya ia mengisi kesendiriannya, ia bergiat menulis. Menjadi pengarang selama hampir 60 tahun tidaklah mudah. Baru dua tahun terakhir ini, ia menerima royalti honorarium yang bisa menutupi biaya hidup sehari-hari. Walau ia hidup berkekurangan, ia murah hati. 10.000 dollar AS dari mantan suaminya,   digunakannya untuk membuat Pondok Baca anak-anak di Sekayu, Semarang.
Inspirasinya : Kisah hidupnya yang panjang, penuh lika-liku, menjadi sumber utama inspirasi dan wawasannya, selain dari Ibunya yang suka bercerita saat ia masih usia dini. Sekarang ia sudah berusia 75 tahun, masih produktif, terus berjuang bagi hak-hak wanita lewat tulisan. Dini tidak pernah pensiun, ia adalah salah satu teladan untuk orang yang berjuang, rajin berlatih dan gigih sejak remaja dan mengabdi di usia tua. Walau hidupnya penuh gejolak dan masalah, ia ingin menutup bab terakhir dari buku kehidupannya dengan pengabdian. Empat ribu buku dari tujuh ribu buku perpustakaannya, ia hibahkan ke Rotary Club Semarang, tiga ribu lainnya ia bawa ke Rumah Baca di Graha Wredha Mulya, Sleman, Jogyakarta, dimana ia sekarang tinggal dan melayani rumah baca. Ayo yang masih remaja, isi kegiatan yang positif dan terus berlatih. Yang sudah tua, selesaikan hidup anda dengan pengabdian. Wow ... dahsyat, Luar Biasa !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar